Terjebak Di Antara Bayangan Realitas
Thank's To : Heilel_Realz012
Namaku adalah Elenna Magdalene. Aku adalah
seorang asisten dokter yang belum lama ini meneliti seorang
subjek di dalam rumah sakit jiwa untuk menyelesaikan studiku.
Banyak hari berlalu terlewati dan aku saat ini sedang
melangkah berjalan pada lantai keramik yang memiliki lorong
panjang berbaris pintu-pintu terkunci. Tempat ini London
Asylum Facility.
Teriakan, pilu tangisan, dan suara tertawa terbahakbahak
adalah suasana yang sudah biasa aku dengar dari
mereka, orang-orang yang kehilangan pikiran dan terjebak
dalam dunia yang ada di dalam kepala mereka sendiri.
Aku tidak tahu mengapa akhirnya aku terjun ke dalam
pekerjaan ini. Wanita-wanita kebanyakan tentu lebih memilih
pekerjaan yang lebih baik. Apakah Ini adalah idelisme-ku?
Atau mungkin ini adalah keimananku? Aku melihat banyak
kesedihan di depan mataku sendiri, dan aku tidak dapat
melakukan apa-apa. Semua manusia yang diciptakan
diberikan berkah oleh-Nya. Aku tahu kata-kata itu, dan
mengetahui pula bahwa Tuhan sayang semua ciptaannya.
Dalam hatiku aku ingin menolong mereka semua,
kumpulan anak-anak domba yang membutuhkan pertolongan
dari keberadaan mereka---sekumpulan orang kejam yang
berkeliaran di luar sana. Pemikiran yang simpel dan mungkin
terdengar kekanak-kanakan. Tapi jika setiap orang hanya
memikirkan tentang diri mereka sendiri, siapa yang akan
peduli pada nasib mereka orang-orang yang tertindas dan
teraniaya? Aku tahu, Tuhan tidak tinggal diam dan
meninggalkan mereka. Namun walau begitu manusia tidaklah
sepantasnya membiarkan saja dan bersikap acuh.
Cinta kasih adalah ajaran yang Yesus ajarankan,
begitu kupegang dan kuimani dengan kuat. Mungkin itu
menjadi alasan terbesar bagiku yang menjadi jawaban
kenapa aku berada di tempat ini dan berusaha menolong
orang sebisa yang aku bisa.
“Datang lagi untuk menjenguk pasien Room 4D3
nona Elenna?” suara petugas rumah sakit jiwa dengan wajah
tua berkeriput sekitar berumur 45 tahunan dengan kumis
yang lebat berbicara padaku. Posisi dirinya masih duduk pada
meja kerjanya di samping pintu teralis terkunci yang
memperlihatkan lorong panjang.
Aku tersenyum dan menjawab perkataan sang bapak
di depanku “Ya seperti biasa pak, masih ada hal-hal yang aku
ingin ketahui dari dirinya.”
“Pekerjaan yang melelahkan ya?” sang bapak
berbicara sembari mengambil kunci yang terikat pada
lingkaran kawat yang bersuara berdencingan karena
banyaknya kunci yang terpasang dan saling bersentuhan.
Dia kemudian berjalan keluar dari mejanya dan tiba di
hadapan pintu yang terkunci itu. Ia kemudian membuka
gerbangnya lebar-lebar. Petugas itu melirik diriku yang
berada di belakangnya dan kembali berbicara, “Aku harap
anda tidak bosan meladeni sikapnya yang sangat pendiam
itu.”
“Aku selalu mencoba kulakukan yang terbaik untuk
mengerti apa yang dia pikirkan,” aku tersenyum menjawab
dengan lembut.
†
Pasien yang berada di ruangan 4D3 yang hampir
selama 4 hari ini aku coba teliti, tidak memberikanku jejak
apapun untuk mengetahui tentang dirinya dan masa lalunya
seperti pekerjaan, tempat tinggal, kerabat, dan yang lainnya.
Tidak ada jejak apapun yang dapat dilacak. Aku sempat putus
asa dengan tugas yang diberikan oleh dokter dan juga putus
asa untuk menolong dirinya. Apa yang bisa aku ketahui jika
tidak ada jejak yang tersisa? Berasumsi mungkin dia
termasuk imigran gelap yang datang ke Inggris karena itu dia
tidak memiliki catatan apapun? Tapi jika menulis hal itu, apa
yang dia lakukan disini?
Sa’id Ibrahim itu adalah nama pasien yang sedang
kuteliti dan coba kutolong. Dia berumur 24 tahun, dan
bergolongan Darah A. Catatan dari berkas yang aku pegang
menjelaskan bahwa dia memiliki gangguan mental atau
penyakit kejiwaan yang cukup akut. Dia memiliki perasaan
terganggu dengan kehadiran orang lain, memiliki rasa
kecemasan tanpa sebab, ketakutan berlebih pada kegelapan,
gangguan delusi, kepanikan akan sesuatu yang tidak ada,
dan dia selalu menyangkal realitas yang ada.
Sa’id Ibrahim hidup dalam dunia di pikirannya sendiri.
Selalu bercerita mengenai dunia paska kehancuran di mana
puluhan juta manusia mengalami kemusnahan besar-besaran
dan hanya tersisa segelintir orang-orang yang bertahan hidup.
Dia mengatakan bahwa Tuhan telah pergi dan meninggalkan
manusia. Apa yang tersisa untuk dimiliki hanyalah kesedihan,
keputusasaan, dan rasa ketakutan.
Aku tidak memahami, sebenarnya apakah yang
membuat dirinya terjebak dalam gangguan psikologis seperti
itu. Hal apa yang terjadi pada masa lalunya dan menimbulkan
hal itu semua?
Dia selalu menceritakan mengenai alter ego dirinya
yang merupakan salah satu dari manusia yang selamat dalam
ceritanya. Sosok itu, mengenakan mantel hitam panjang
dengan tudung dan berpakaian serba hitam. Ia bergerak
mengikuti perintah dari kelompok yang dia naungi untuk
menyelamatkan kondisi dunia yang kehilangan harapan.
Seperti sebuah cerita dalam video games yang sering
dimainkan para remaja. Tapi itu tidak menjadi alasan bagiku
untuk melecehkan atau menertawakan pemikirannya. Aku
tahu, apakah dia melakukan ini semua karena dia tidak mau
menerima realita dunia yang ada.
Sesuatu yang sangat buruk yang tidak aku dapat
mengerti, mungkin terjadi pada dirinya. Kenapa Sa’id
menyembunyikan dirinya yang sebenarnya dan lebih memilih
membiaskan imej-nya pada tokoh yang dia buat sendiri dalam
pikirannya? Tubuh dan dirinya bagaikan puzzle rumit yang
sulit aku pecahkan.
Pada catatan kepolisian tertulis dia merupakan
pengguna obat-obatan terlarang aktif dan pernah melakukan
pembunuhan berantai. Dia semestinya mendekam dipenjara
sangat lama atas apa yang diperbuatnya bila saja juri tidak
mendesak hakim untuk memutuskan bahwa dia mengalami
gangguan kejiwaan. Aku membencinya atas prilaku yang
telah dia lakukan. Aku membenci seorang pembunuh tapi aku
ingin menolongnya.
†
Suara pintu besi yang terkunci terdengar terbuka. Aku
yang sejak tadi berjalan menyusuri lorong panjang dengan
pintu-pintu besi yang berderet di sampingku, akhirnya sampai
juga di depan kamar ruangan yang menjadi tujuanku. Petugas
Asylum yang tadi mengantarkanku, telah membuka kunci sell
yang terisolasi begitu rapat. Ini sudah saatnya diriku kembali
harus bertemu dengannya.
“Kamu memiliki waktu 10 menit untuk bertemu
dengannya nona Elenna. Aku akan datang kembali dan
membuka ruangan ini setelah waktunya habis.”
“Iya aku mengerti. terima kasih,” aku menjawab
dengan pelan sembari mengangguk mengerti. Petugas
Asylum kemudian mendorong pintu besi yang terkunci itu dan
memperlihatkan isi dari ruangan isolasi yang penuh karet
busa pengamanan berwarna putih yang melapisi dindingnya.
Tidak ada kaca ataupun perabotan di dalam sana.
Hanya memperlihatkan sebuah kubus busa dengan ventilasi
udara di bagian atasnya. Ruangan isolasi adalah ruangan
yang cukup mengerikan bagiku. Bagaimana mungkin
seseorang bisa hidup di tempat seperti ini, terkurung dalam
kesendiriannya sendiri.
Aku kemudian melangkah masuk kedalam ruangan
4D3 yang memiki penerangan yang cukup terang itu. sang
petugas yang telah melihatku masuk, kemudian kembali
menutup pintunya dan kemudian menguncinya. Aku masih
berada tepat di depan pintu masuk, melihat ke arah pasien
yang sekarang sedang duduk bersender di sudut ruangan
dengan tangan yang menekuk kebelakang yang terikat
pakaian putih yang dia kenakan.
“Sa’id, ini aku Elenna. Hai, aku temanmu.. aku akan
berjalan mendekatimu oke?”
Aku berbicara berusaha mengalihkan perhatiannya
pada diriku untuk melepaskan lamunan kosongnya yang
sejak tadi dia lakukan. Sekitar dua menit aku menunggu dan
tidak ada jawaban apapun yang keluar dari mulutnya. Aku
berpikir, dia menolak kehadiranku di sini. Suatu bentuk
tindakan yang biasa dan selalu dia lakukan padaku.
Aku kemudian melangkah berjalan dari tempatku ragu
mendekatinya dengan perlahan. Tidak ada tanda-tanda
darinya yang terusik dengan kehadiranku. Aku melihatnya
dengan kedua mataku, Sa’id Ibrahim masih terdiam melamun
memikirkan sesuatu, berpandangan kosong.
Aku berlutut di depan dirinya, mengamati tetap terus
memandang wajahnya yang terdiam. ‘Apa yang sebenarnya
dia pikirkan?’ aku bertanya-tanya dalam hati dan terus
menandangnya dengan kebingungan.
“Sa’id.. ini aku Elenna. Kau mengingat diriku-kan?
Aku datang kemari untuk melihat kondisimu lagi.. bagaimana
perasaanmu sekarang?”
Aku berbicara namun Sa’id tetap tidak memberikan
respon apapun. Aku menjadi semakin kebingungan. Ini
adalah pertemuanku lagi dengannya ketika tiga hari yang lalu
aku mendapatkan serangan darinya di tempat ini. Apa dia
mengingat kejadian itu? apa dia mengingat rasa sakit itu
ketika petugas datang dan memukulinya dengan pemukul
yang keras?
“Elenna..” tiba-tiba saja suara terucap dari mulutnya
dengan wajah dan tatapan kosong yang sejak tadi tidak
berubah. Aku yang mendengar itu kemudian menjawabnya,
“Kau mengingatku Sa’id? Ya ini aku Elenna..”
“Tolong jangan menyembunyikannya lagi..”
“Menyembunyikan? Aku tidak menyembunyikan apaapa
darimu Sa’id,” aku menjawab perkataannya dengan pelan
dan kebingungan dengan maksud dari ucapannya itu.
Sa’id diam cukup lama setelah mendengar jawaban
dariku. Aku yang benar-benar penasaran dengan apa yang
dimaksudkan oleh pasien ini, akhirnya memberanikan diri
kembali berbicara padanya, “Aku tidak mengerti dengan
perkataanmu. Aku benar-benar tidak menyembunyikan apaapa.”
Sa’id yang sejak tadi melamun, tiba-tiba saja
mengangkat kepalanya tegap dan memandang ke arah
wajahku. Lurus tatapannya begitu tajam. “KAU BERBOHONG
PADAKU!! Katakan padaku di mana anak kita berdua
sekarang berada!!”
Post a Comment